Situaksan Bandung

What the Meaning of “Loss of Adab”?

What the Meaning of “Loss of Adab”?
What the Meaning of “Loss of Adab”?

What the Meaning of “Loss of Adab”?

Rifki Azkya Ramadhan

Pendahuluan

            Kemunduran umat Islam kian hari kian menjadi. Tidak banyak umat Muslim yang merasakannya, karena permasalahan yang terjadi bukan dalam hal kuantitas namun dalam segi kualitas umat yang terus menurun. Fenomena ini diperkuat dengan hadirnya buku yang mengulas mengenai alasan kemunduran umat Islam, yaitu buku karangan seorang politikus asal Lebanon al-Amir Syakib Arsalan yang berjudul “Limadza taakharalmuslimuuna, wa limaadza taqaddama ghairuhum?”. Permasalahan itu pun menjadi alasan kurang lebih 330 cendekiawan Muslim berkumpul pada tahun 1977 dalam Seminar Pendidikan Islam Internasional di Mekkah, dan salah satu dari cendekiawan Muslim pada seminar tersebut ialah SMN al-Attas. Dalam seminar tersebut al-Attas memberikan pidato bahwasannya akar permasalahan dari krisis besar yang dialami oleh umat Islam adalah “Loss of Adab”. Mengingat reputasi besar yang sudah dimiliki al-Attas atas ilmunya yang begitu luas, kiranya amat menarik bila diteliti lebih lanjut mengenai maksud al-Attas dari pernyataan tersebut.

Pengertian Adab dalam Perspektif Islam

            Istilah adab bila hanya diartikan sebagai sopan-santun dalam berprilaku atau adat peraturan sosial dalam kesopanan itu keliru dan mempersempit makna luas dari adab. SMN al-Attas seorang filsuf Muslim yang amat concern dengan permasalahan adab, memberikan penjelasan mengenai definisi adab. Sederhananya al-Attas mendefiniskan adab sebagai segala perbuatan yang baik dan benar (Right Action).[1] Hal itu serupa dengan definisi adab dari Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Beliau mendifinisikan adab sebagai berikut,

فالأدب: اجتماع خصال الخير في العبد

            “Adapun adab ialah: kumpulan perilaku atau pekerti yang terpuji dalam diri seorang hamba”[2]

Ibnu Qayyim pun melanjutkan bahwasannya adab itu terbagi kepada 3, diantaranya,

  1. Adab kepada Allah Swt.
  2. Adab Kepada Rasul-Nya
  3. Adab Kepada Sesama Makhluk

            Penjelasan Ibnu Qayyim diatas menjadi sebuah tanda bahwasannya adab itu tidak hanya bermakna hubungan antar manusia saja, namun mencakup juga kepada Tuhan. Lebih jauh lagi Al-Attas dalam bukunya yang bertajuk Risalah untuk Kaum Muslimin al-Attas menuliskan ta’rif-nya mengenai adab, beliau menjelaskan bahwasannya adab tidak hanya berkaitan dengan hubungan insani belaka, terhadap tumbuhan, alam, hewan, bahkan ilmu pun ada adabnya. Sehingga bila adab didefinisikan sebagai hubungan antara sesama manusia saja itu keliru dan merusak makna adab.[3]

            Penjelasan ini amat berbeda dengan penjelasan yang diberikan dalam buku tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ketika menjelaskan makna adab dalam Pancasila butir ke-2. Penjelasan yang dipaparkan amat kental dengan nilai humanisme, yakni dengan menggembor-gembor embel-embel kesetaraan bagi seluruh rakyat terlepas dari latar belakang agama, suku, ras dan yang lainnya. Begitu pula dengan pembelaan HAM yang nantinya pasti akan berujung pada legalisasi LGBT, sex bebas, dan yang lainnya. Dalam penjelasan tersebut pun tidak disinggung sedikit pun akan kesantunan dan Ketundukan kepada Tuhan, seakan-akan terdapat makna tersirat bahwa seseorang dapat dikatakan beradab jika berbuat baik kepada manusia, selebihnya dari itu terserah tidak dipedulikan. Inilah konsep adab yang amat bertentangan dengan konsep dalam Islam.[4]

            Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa istilah adab bila hanya diartikan sebagai kode etik dari hubungan sesama manusia itu adalah sebuah penyempitan makna bahkan condong pada merusak makna adab. Karena pada hakikatnya adab itu berlaku pada setiap realitas, baik yang fisik maupun metafisik.

Loss of Adab Sebagai Krisis Terbesar Umat Islam

            Pada tahun 2011 Al-Attas ketika ditanya oleh Hamza Yusuf seorang ulama asal Amerika Serikat mengenai krisis umat Islam terbesar beliau menjawab loss of Adab, jawaban yang sama ketika beliau pidato dalam seminar pendidikan di Mekkah tahun 1977. Tentu jawaban al-Attas amat berbeda dengan jawaban ilmuwan Muslim yang lainnya yang menjadikan faktor ekonomi, politik dan yang lainnya sebagai pokok permasalahan umat Islam. Namun tidak serta merta al-Attas pun menolak segala faktor tersebut sebagai suatu permasalahan dalam Islam, hanyasaja beliau melihat ada faktor yang lebih krusial yaitu dalam tataran adab. Adapun adab yang dimaksud bermakna keseluruhan, namun beliau menekankan dalam masalah adab dalam ilmu yakni dengan cara memahami ilmu secara beradab untuk menyelesaikan permasalahan politik, ekonomi, dan lain sebagainya.

            Mengenai adab dalam ilmu al-Attas menjelaskan bahwa ilmu itu ada tingkatan dan derajatnya (maratib) tidak bisa semua ilmu dipukul sama rata dalam hal derajatnya. Ilmu yang berasal dari Wahyu harus lebih ditinggikan dan diprioritaskan dari ilmu yang berasal dari akal. Begitupula dalam praktik pendidikannya ilmu fardhu ‘ain itu harus lebih di prioritaskan dari ilmu fardhu kifayah, itulah bagian dari adab dalam ilmu, yakni senantiasa proporsional dalam menempatkan segala sesuatu berbalik dengan sikap zulm. Karenasebagaimana yang dikatakan oleh al-Attas bahwa Loss of adab implies loss of justice[5]

            Sehingga bila disimpulkan bahwasannya al-Attas ingin memberikan pesan kepada kaum Muslimin bahwasannya terdapat satu kunci untuk membuka pintu keluar bagi krisis yang kini melilit umat Islam yaitu adab, oleh karena itu yang amat perlu dilakukan umat Islam ialah temukanlah adab dan terapkanlah dalam segala aspek kehidupan. Maka dengan wujud keadilan yang hakiki dalam kehidupan bukan suatu hal yang utopis lagi jika adab lahir dalam kehidupan, karena perwujudan lahirnya keadilan dalam kehidupan ialah ketika adab ikut masuk dalam segala ruang kehidupan.[6]

            Wal-Llahu A’lam


               [1] Muhammad Ardiansyah, Konsep Adab Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Aplikasinya di Perguruan Tinggi, (Depok: Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Depok: 2020), hlm. 66, mengutip pada Commemorative Volume on The Conferment of The al-Ghazali Chair of Islamic Thought, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1994), hlm 30.

               [2] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madarij al-Salikin, (Beirut-Lebanon: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1973), hlm. 375.

               [3] SMN al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), hlm. 118-200.

               [4] Adian Husaini, Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012), hlm. 53-54.

               [5] Adian Husaini, Mengenal Sosok dan Pemikiran SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS dan WAN MOHD NOR WAN DAUD, (Depok: YPI at-Taqwa Depok, 2020), hlm, 25-30.

               [6] SMN Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Kasirdjo Djodjosuwarno, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), hlm. 219.