Situaksan Bandung

Pendidikan Khusus Tafaqquh Fid Din Berbasis Adab Islam

 

Konferensi Internasional Pendidikan Islam pertama di dunia yang diselenggarakan di Makkah pada tahun 1977 (First World Conference on Islamic Education) sudah menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk melahirkan seorang manusia yang baik, bukan warganegara yang baik.[1] Perbedaannya cukup jauh; manusia yang baik adalah manusia sempurna sebagaimana tujuan semula ia diciptakan oleh Rabbnya, sementara warga negara yang baik adalah menjadi manusia yang baik sebagaimana dikehendaki oleh negara dan masyarakat. Hasilnya akan berbeda jauh juga, pendidikan yang ditujukan untuk menjadi manusia yang baik akan melahirkan manusia seutuhnya sesuai fithrah ia diciptakan, sementara pendidikan yang ditujukan untuk menjadi warga negara yang baik melahirkan manusia yang baik menurut kepentingan negara dan selera masyarakat, tetapi ia tercerabut dari fithrah kemanusiaannya.

 

Lebih lengkapnya, Konferensi merumuskan sebagai berikut:

Pendidikan harus bertujuan pada pertumbuhan kepribadian manusia yang utuh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek dan rasio, perasaan dan indera-indera badan manusia. Latihan yang diberikan kepada seorang Muslim yang harus menjadi keyakinan semacam itu disuntikkan ke seluruh kepribadiannya dan menciptakan dalam dirinya kecintaan emosional kepada Islam dan memungkinkannya mengikuti al-Qur`an dan sunnah dan diatur oleh sistem nilai Islam secara ikhlas dan gembira sehingga ia dapat menjalankan kesadaran statusnya sebagai khalifah Tuhan, yang kepadanya Tuhan menjanjikan kekuasaan alam semesta; …Pendidikan harus menumbuhkan dalam diri manusia gerak hati agar mengatur dirinya dan alam semesta sebagai hamba Tuhan yang benar, bukan dengan menentang dan masuk dalam konflik terhadap alam, tetapi dengan memahami hukum-hukumnya dan memandatkan kekuasaan-kekuasaannya bagi pertumbuhan suatu kepribadian yang berada dalam kerukunan dengannya.[2]

 

Sebagai organisasi yang berkhidmat di dunia pendidikan, Persatuan Islam dari sejak lahirnya sudah mencanangkan satu tujuan pendidikan yang lebih spesifik daripada pendidikan Islam secara umum. Pendidikan Persatuan Islam ditujukan untuk menciptakan tha`ifah mutafaqqihin fid din; sebuah kelompok spesialis yang memperdalam ilmu agama.[3]

 

Persatuan Islam tentunya tidak menampik tujuan pendidikan Islam secara umum yang terlihat pada visi pendidikan yang telah ditetapkannya yaitu “terwujudnya manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi”.[4] Demikian juga tampak pada misi pendidikan yang telah ditetapkannya yaitu “pemanusiaan insan ulul albab selaku muslim yang kaffah dan tafaqquh fid-din”.[5] Akan tetapi visi dan misi pendidikan yang umum tersebut dalam implementasinya diarahkan untuk mencapai tujuan yang lebih khusus yakni “mewujudkan kepribadian muslim yang taqwa dan tafaqquh fid din”.[6]

 

Tafaqquh sebagaimana dijelaskan oleh ar-Raghib al-Ashfahani bermakna takhashshush; mengkhususkan diri dalam memahami agama.[7] Tafaqquh fid din berarti mengkhususkan diri mencari ilmu agama, menjadikan diri spesialis dalam ilmu-ilmu agama. Istilah ini diambil dari firman Allah swt dalam al-Qur`an surat At-Taubah [9] : 122 yang memerintahkan kaum muslimin agar tidak berangkat semuanya ke medan perang, melainkan harus ada sebagiannya yang tafaqquh fid din.

 

Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa ilmu agama itu intinya ada tiga; tafsir, hadits, fiqh.[8] Tafaqquh fid din berarti menempa diri agar ahli dalam tiga ilmu tersebut sekaligus; tafsir, hadits, dan fiqh. Orientasi pendidikan Persatuan Islam yang difokuskan untuk menciptakan tha`ifah mutafaqqihin fid din berarti melahirkan sekelompok orang yang ahli dalam ilmu tafsir, hadits, dan fiqh.

 

Akan tetapi hari ini sudah hampir disepakati bahwa orientasi pendidikan di Persatuan Islam sebenarnya sudah kurang fokus pada tafaqquh fid din. Ini setidaknya terlihat dari Rekomendasi Muktamar Persatuan Islam dari sejak tahun 1995 dan terus menerus diulang-ulang sampai Muktamar 2015 yang mengamanahkan Persatuan Islam untuk membentuk satu lembaga pendidikan khusus yang lebih fokus pada tafaqquh fid din. Latar belakang pemikirannya karena lembaga pendidikan pesantren di Persatuan Islam hari ini sudah hampir semuanya mengikuti kurikulum dari Kementerian Agama RI. Kurikulum tersebut tidak memberi ruang yang cukup untuk tafaqquh fid din karena ilmu-ilmu agama harus berbagi porsi yang sama dengan ilmu-ilmu non-agama.

 

Dalam menjawab kebutuhan akan lembaga pendidikan yang berorientasi penuh pada tafaqquh fid din tersebutmaka Pesantren Persatuan Islam 27 Situaksan Bandung berikhtiar menyelenggarakan program pendidikan khusus tafaqquh fid din untuk tingkat Tsanawiyyah dan Mu’allimin. Kurikulum yang akan digunakan tidak mengacu pada kurikulum Kementerian Agama RI, melainkan merujuk pada kurikulum pendidikan Persatuan Islam dengan memberi porsi yang besar pada al-‘ulumus-syar’iyyah. Adapun al-‘ulumul-insaniyyah (IPS, humaniora) dan al-kauniyyah (IPA) diberikan dalam format ekstrakurikuler.

 

Pendidikan yang dijalankan disebut Pendidikan Khusus Tafaqquh Fid Din karena memang melibatkan tenaga asatidzah yang khusus, juga santri-santri yang khusus. Sistem pembelajarannya pun menerapkan model yang khusus, tidak sebagaimana yang berlaku umum di Pesantren Persatuan Islam. Asatidzah yang mengajar harus seorang yang mutafaqqih fid-din dengan kompetensi mampu membaca kitab turats, penghafal al-Qur`an, dan pengamal adab-adab Islam. Santri yang belajar di Pesantren khusus untuk 25 orang santri per angkatan yang lulus seleksi. Sementara sistem pembelajaran yang khusus modelnya langsung merujuk kitab-kitab turats yang berbahasa Arab guna melatih santri bahtsul-kutub. Bahasa pengantar yang digunakan juga menggunakan bahasa Arab.

 

Di samping itu, pendidikan yang diselenggarakan juga akan menitikberatkan pada pendidikan adab. Pendidikan adab (ta`dib), sebagaimana sering dijelaskan oleh al-Attas dalam berbagai karyanya,[9] adalah ruh dari pendidikan Islam itu sendiri. Imam al-Ghazali sendiri mengistilahkannya dengan ihya` ‘ulumid-din; menghidupkan ilmu-ilmu agama. Maksudnya, ilmu agama itu hanya akan hidup dengan adab. Tanpa adab ilmu agama akan mati dan tidak mungkin mampu menghidupkan manusia juga masyarakat sebagaimana tuntunan Sang Maha Pencipta. Kalaupun ilmu agamanya ada dan diajarkan, jika tanpa adab maka ilmu agama tersebut sebatas hadir di tengah-tengah manusia tanpa pernah mampu menghidupkan mereka.

 

Dalam pendidikan adab ini Pesantren Persatuan Islam 27 Situaksan Bandung akan mewajibkan santri-santrinya untuk menghafal al-Qur`an 30 juz agar mereka terbiasa hidup dengan dzikir al-Qur`an. Santri juga diwajibkan menghafal hadits Bulughul-Maram dan Riyadlus-Shalihin agar mereka beradab dalam menjaga sunnah Nabi Muhammad saw. Di samping itu, semua santri akan dibimbing oleh seorang Muaddib yang membina lima orang santri dalam pengamalan adab-adab Islam, baik adab kepada Allah dan Rasul-Nya dalam wujud ibadah, adab dalam ilmu, adab terhadap orangtua dan guru, adab terhadap diri sendiri, dan adab terhadap masyarakat.

 

Pendidikan adab ini, sebagaimana dituntunkan al-Qur`an dan Sunnah, akan melibatkan orangtua santri dan masyarakat atau jama’ah masjid. Setiap orangtua santri dituntut untuk menjadi pendidik di rumah dan lingkungannya, sementara jama’ah masjid juga dilibatkan sebagai pendidik di lingkungannya, khususnya di jama’ahnya. Sebab pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang menghadirkan peserta didik dalam dunia nyata, bukan hanya di lingkungan Pesantren, melainkan juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Pesantren akan memberlakukan “Rapor Adab” (Waraqah Ta`dib) yang diisi dan dimonitoring setiap bulannya oleh tiga pihak sekaligus; muaddib, orangtua, dan jama’ah masjid.

 

Konsekuensinya pendidikan berasrama tidak akan menjadi pilihan utama di Pesantren Persatuan Islam 27 Situaksan Bandung. Pendidikan berasrama hanya bersifat darurat bagi santri yang tinggal di luar kota. Peran orangtua bagi santri yang tinggal di asrama akan diwakili sebagian besarnya oleh Murabbi, dan sebagian kecilnya tetap menjadi kewajiban orangtua/walinya. Santri yang tinggal di asrama pun tetap akan dilibatkan dalam pendidikan kemasyarakatan di lingkungan sekitar Pesantren.

 

Inilah model Pendidikan Khusus Tafaqquh Fid Din Berbasis Adab Islam yang dijalankan oleh Pesantren Persatuan Islam 27 Situaksan Bandung. Dengan sebuah harapan besar semoga mampu melahirkan insan-insan yang fiqih dalam agama dan beradab mulia.

Visi

Pendidikan Khusus Tafaqquh Fid Din Berbasis Adab Islam

Tujuan

Melahirkan generasi yang mutafaqqih fid din dan beradab Islam

Misi

  1. Mendidik santri agar beraqidah salimah, ibadah shahihah, dan akhlaq karimah.
  2. Mendidik santri agar terbiasa mengamalkan adab-adab Islam.
  3. Membimbing santri untuk menghafal dan memahami al-Qur`an 30 juz, hadits Bulughul-Maram, dan Riyadlus-Shalihin.
  4. Membimbing santri agar mampu membaca kitab turats dan berbahasa Arab aktif.
  5. Melatih santri agar mampu menerapkan ushul fiqh, ilmu al-Qur`an, dan ilmu hadits.

[1] SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS, ED., AIMS AND OBJECTIVES OF ISLAM EDUCATION, TERJ. SAMSUDIN JAAPAR, TUJUAN DAN OBJEKTIF PENDIDIKAN ISLAM, KUALA LUMPUR: DEWAN BAHASA DAN PUSTAKA, 1992, HLM. XXI (PENGENALAN).

[2] WAN MOHD NOR WAN DAUD, THE CONCEPT OF KNOWLEDGE IN ISLAM AND ITS IMPLICATION FOR EDUCATION IN A DEVELOPING COUNTRY, TERJ. MUNIR, KONSEP PENGETAHUAN DALAM ISLAM, BANDUNG: PUSTAKA, 1997, HLM.102-103.

[3] PEDOMAN SISTEM PENDIDIKAN PERSATUAN ISLAM BAB IV PASAL 8.

[4] IBID BAB II PASAL 2.

[5] IBID BAB II PASAL 3.

[6] IBID BAB VII BAGIAN KESATU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI PASAL 14 AYAT 1; BAGIAN KEDUA PENDIDIKAN DASAR PASAL 18 AYAT 1; BAGIAN KETIGA PENDIDIKAN MENENGAH PASAL 19 AYAT 1; DAN BAGIAN KEEMPAT PENDIDIKAN TINGGI PASAL 20 AYAT 1.C.

[7] AR-RAGHIB AL-ASHFAHANI, MU’JAM MUFRADAT ALFAZH AL-QUR`AN, BERIUT: DAR AL-FIKR, T.TH., HLM. 398.

[8] FATHUL-BARI BAB FADLLIL-‘ILM

[9] KARYA ILMIAH YANG PALING BERBOBOT SEPUTAR FILSAFAT TA`DIB AL-ATTAS ADALAH YANG DITULIS WAN MOHD NOR WAN DAUD, THE EDUCATIONAL PHILOSOPHY AND PRACTICE OF SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS, KUALA LUMPUR: ISTAC (INTERNATIONAL INSTITUTE OF ISLAMIC THOUGHT AND CIVILIZATION), 1998.