Situaksan Bandung

Keutamaan Dan Adab-Adab Jihad

Keutamaan Dan Adab-Adab Jihada
Keutamaan Dan Adab-Adab Jihada

Keutamaan Dan Adab-Adab Jihad

Nabil Abdillah

  1. Keutamaan Orang Yang Syahid

وعَنْ أبي هُريْرةَ رضي اللَّهُ عنهُ قال : قالَ رسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « ما يَجِدُ الشَّهِيدُ مِن مَسِّ القتْلِ إلاَّ كما يجِدُ أحدُكُمْ مِنْ مسِّ القَرْصَةِ » رواه الترمذي وقال : حديثٌ حسنٌ صحيحٌ .

1320. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Orang yang mati syahid itu tidak mendapatkan kesakitan karena terkena pembunuhan, melainkan hanyalah sebagaimana seorang diantara engkau semua mendapatkan kesakitan karena terkena gigitan -semut dan sebagainya.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan shahih.

Hadits ini menunjukan bahwa orang yang syahid terbunuh dalam peperangan di jalan Allah swt, akan diberikan kemudahan oleh-Nya. Lain kata, rasa sakit yang timbul ketika proses terbunuhnya akan dihilangkan. Di dalam hadits tersebut disebutkan seperti terkena gigitan semut. Hal tersebut tentu sebagai bentuk kemuliaan Allah dan penyegeraan kebahagiaan kepada para syahid.[1]

Di dalam riwayat lain disebutkan rasanya seperti terkena cubitan;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” الشَّهِيدُ لَا يَجِدُ مَسَّ الْقَتْلِ إِلَّا كَمَا يَجِدُ أَحَدُكُمُ الْقَرْصَةَ يُقْرَصُهَا

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda, “Orang yang mati syahid tidak mengalami sakitnya terbunuh, melainkan seperti salah seorang dari kalian yang merasakan cubitan“.[2]

Hukumnya: hasan shahih

  • Adab-Adab Dalam Perang Beserta Hikmahnya

وعنْ عبْدِ اللَّهِ بن أبي أوْفَى رضي اللَّه عنْهُما أنَّ رسُول اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم في بعضَ أيَّامِهِ التي لَقِي فِيهَا العدُوَّ انتَظر حتى مَالتِ الشَّمسُ ، ثُمَّ قام في النَّاس فقال : « أَيُّهَا النَّاسُ، لا تَتَمنَّوْا لِقَاءَ العدُوِّ ، وَسلُوا اللَّه العافِيةَ ، فإذا لقِيتُمُوهُم فَاصبِرُوا ، واعلَمُوا أنَّ الجَنَّةَ تَحْتَ ظِلالِ السُّيوفِ » ثم قال : « اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الكتاب ومُجرِيَ السَّحابِ ، وهَازِمَ الأَحْزَابِ اهْزِمهُم وانْصُرنَا علَيهِم » متفقٌ عليه .

1321. Dari Abdullah bin Abu ‘Aufa radhiallahu’anhuma bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, pada salah satu dari hari-hari di waktu beliau itu menemui musuh, beliau menantikan sehingga matahari condong -hendak terbenam-, beliau lalu berdiri di muka orang banyak, kemudian bersabda: “Hai sekalian manusia, janganlah engkau semua mengharap-harapkan bertemu musuh dan mohonlah kepada Allah akan keselamatan. Tetapi jikalau engkau semua menemui musuh itu, maka bersabarlah. Ketahuilah olehmu semua bahwasanya syurga itu ada di bawah naungan pedang.” Selanjutnya Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Ya Allah yang menurunkan kitab, yang menjalankan awan, yang menghancur-leburkan gabungan pasukan musuh. Hancur-leburkanlah mereka dan berilah kita semua kemenangan atas mereka.” (Muttafaq ‘alaih)

Merujuk hadits tersebut yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dan muslim di dalam kitab shahihnya, menunjukan kebiasaan ketika Nabi saw tidak melaksanakan suatu peperangan di awal siang, maka beliau selalu mengurung sementara rencananya sampai matahari tampak pada posisi sudah terbenam/waktu ashar. Menurut para ulama, bahwa demikian biasa beliau lakukan, karena waktu ashar adalah waktu paling memungkinkan untuk berperang, waktu dimana angin-angin berhembusan dan kadar semangat bergejolak. Imam an-Nawawi menyebutkan syarah terkait sebab-sebab tersebut di dalam kitabnya al-Minhaj Syarh Shahih Muslim; 

قال العلماء : سببه أنه أمكن للقتال فإنه وقت هبوب الريح ، ونشاط النفوس ، وكلما طال ازدادوا نشاطا وإقداما على عدوهم

Para ulama berpendapat: sebabnya karena sesungguhnya waktu itu adalah waktu memungkinkan untuk berperang, waktu angin-angin berhembusan, jiwa-jiwa bersemangat, setiap memanjang, mereka bertambah semangat dan bertindak berani menghampiri musuh mereka.”[3]

Para ulama berpendapat, sebagai sebabnya, selain waktu ashar adalah waktu ideal untuk berperang, dimana angin-angin berhembusan, dan waktu dimana kadar semangat membara, Nabi saw sengaja mengakhirkan rencana perang hingga waktu ashar, tidak lain agar beliau bisa menunaikan shalat ashar dan berdoa pada waktu tersebut. Karena pada waktu tersebut (ashar) memungkinkan doa yang terpanjat, akan dikabulkan oleh Allah swt. Hal tersebut dikuatkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam ahmad di dalam musnadnya;

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يَنْهَضَ إِلَى عَدُوِّهِ عِنْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ.

Nabi saw ingin bangkit kepada musuhnya ketika matahari terbenam.”[4]

Hadits yang dibawakan oleh sahabat Nu’man menguatkan;

إذَا لَمْ يُقَاتِلْ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ انْتَظَرَ حَتَّى تَهُبَّ الْأَرْوَاحُ وَتَحْضُرَ الصَّلَوَاتُ

apabila Beliau belum memulainya di awal siang, Beliau menunggu hingga angin bertiup dan waktu-waktu shalat telah masuk.”[5]

Imam Ibnu Hajar al-Atsqalani di dalam kitabnya Fathul Bari menyebutkan syarh mengenai hadits Nu’man;

فيظهر أن فائدة التأخير لكون أوقات الصلاة مظنة إجابة الدعاء، وهبوب الريح قد وقع النصر به في الأحزاب فصار مظنة لذلك والله أعلم

“Maka jelas bahwa faidah dari mengakhirkan perang tersebut karena keadaan waktu shalat yang memungkinkan diijabahnya doa, dan angin berhembusan, Allah telah menetapkan pertolongan kepada golongan dengan nya, maka jadilah mungkin atas hal itu, allahu a’lam.”[6]

Setibanya pada waktu ashar, peperangan segera dimulai. Nabi saw yang diakui sebagai sosok model inspirator dalam berperang, dengan gagahnya kemudian beliau memimpin seluruh pasukan kaum muslimin. Sebelum peperangan meletus, biasanya Nabi saw selalu menyampaikan terlebih dahulu pengarahan dan adab-adab dalam berperang. Seperti yang disebutkan di dalam hadits di atas, Nabi saw bersabda;

أَيُّهَا النَّاسُ، لا تَتَمنَّوْا لِقَاءَ العدُوِّ ، وَسلُوا اللَّه العافِيةَ ، فإذا لقِيتُمُوهُم فَاصبِرُوا ، واعلَمُوا أنَّ الجَنَّةَ تَحْتَ ظِلالِ السُّيوفِ ثم قال : « اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الكتاب ومُجرِيَ السَّحابِ ، وهَازِمَ الأَحْزَابِ اهْزِمهُم وانْصُرنَا علَيهِم » متفقٌ عليه .

Hai sekalian manusia, janganlah engkau semua mengharap-harapkan bertemu musuh dan mohonlah kepada Allah akan keselamatan. Tetapi jikalau engkau semua menemui musuh itu, maka bersabarlah. Ketahuilah olehmu semua bahwasanya syurga itu ada di bawah naungan pedang Selanjutnya Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Ya Allah yang menurunkan kitab, yang menjalankan awan, yang menghancur-leburkan gabungan pasukan musuh. Hancur-leburkanlah mereka dan berilah kita semua kemenangan atas mereka.” (Muttafaq ‘alaih) .”

Berdasarkan hadits di atas, ada beberapa faidah yang bisa dipetik, di antaranya; pertama, Nabi saw melarang kepada seluruh pasukan perang kaum muslim berharap agar bertemu dengan musuh orang-orang kafir. Hikmah yang terkandung di balik larangan tersebut, karena di dalam harapan tersebut terdapat unsur kekaguman dan kepercayaan terhadap diri sendiri secara berlebihan. Hal itu termasuk salah satu dari macam-macam sifat sombong dan allah tidak akan menjamin kemenangan berhasil digenggam kepada pasukan yang sombong, melainkan kepada pasukan tawadlu dan bersabar yang tidak ingin mencoba merendah musuh.[7]

Kedua; Nabi saw mengajarkan kepada seluruh pasukan kaum muslim untuk senantiasa bersabar ketika musuh tepat berada di hadapan pandangan. Hal itu secara tegas dianjurkan karena termasuk rukun-rukun perang yang ditekankan. Allah swt telah mencantumkan sebagian di antara adab-adab dalam berperang di dalam Q.S al-Anfal : 45-47. Allah swt berfirman;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ.  وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَرًا وَرِئَاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ

45. “Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. 46. “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. 47. “Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan”.[8]

Ketiga; raihan pahala dan surga yang dicapai bagi para muqatil. Terkait makna dari redaksi wa’lamuu annal jannata tahta zhilalis suyuuf, imam an-Nawawi menjelaskan bahwa maknanya adalah ganjaran pahala dari Allah swt. Pahala perang yang diperoleh ini yang akan menjadi wasilah pengantar para muqatil untuk bisa masuk ke surga Allah swt.Tentu dengan cara yang tidak terhinggapi unsur kesombongan sebagaimana sudah dijelaskan pada poin pertama. Melainkan dengan menghadirkan kejujuran, kesabaran dalam diri dan teguh di dalam situasi genting peperangan di jalan Allah swt.[9]

Keempat; anjuran berdoa dan memohon pertolongan Allah swt ketika berperang. Sebab kemenangan akan berhasil dikepal tentu berkat rahmat dan pertolongan Allah swt. Dan berdoa dengan menyebutkan sifat-sifat allah yang mulia dan menyebutkan anugrah kenikmatan adalah salah satu cara untuk meraih pertolongan-Nya.[10] Nabi saw bersabda;

اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الكتاب ومُجرِيَ السَّحابِ ، وهَازِمَ الأَحْزَابِ اهْزِمهُم وانْصُرنَا علَيهِم

“Ya Allah yang menurunkan kitab, yang menjalankan awan, yang menghancur-leburkan gabungan pasukan musuh. Hancur-leburkanlah mereka dan berilah kita semua kemenangan atas mereka.”

Betapa mulianya hikmah dari larangan tersebut, yang secara detail dikupas tuntas oleh para ulama. Setidaknya ada empat poin yang bisa ditemukan dan disajikan di dalam penjalasan ini, tentu dengan merujuk penjelasan-penjelasan para ulama. Semoga dari tulisan ini bisa mencukil banyak manfaat dan meraih pahala jariyyah dari Allah swt.

Wallahu A’lam.


[1] Kitab Rauhu wa Raihan Syarh Riyadush-shalihin Hal. 796

[2] Sunan an-Nasai Kitab al-Jihad Bab ma yajidu asy-syahid min al-alam No. 3161

[3] Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn Al-Hajjaj

[4] Musnad Ahmad Awwalul Musnadil Kuufiyyun No. 19141

[5] Shahih al-Bukhari Kitab Jizyah Bab al-Jizyah Wa al-Muwada’ah Ma’a Ahli al-Kitab No. 2925

[6] Fathul Bari Bisyarhi Shahih Al-Bukhari

[7] Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn Al-Hajjaj

[8] Q.S al-Anfal [8] : 45-47

[9] Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn Al-Hajjaj

[10] Fathul Bari Bisyarhi Shahih Al-Bukhari dan Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn Al-Hajjaj