Situaksan Bandung

Waktu Lebih dari Sekedar Uang

Waktu Lebih dari Sekedar Uang
Waktu Lebih dari Sekedar Uang

Oleh: Darana Erawan Noer Hadiyana

Ada satu ungkapan berbahasa Inggris yang sangat terkenal di kalangan masyarakat berbunyi, “Time is money.” Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ungkapan itu bermakna bahwa waktu sama seperti uang, bernilai dan harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Jika didengarkan sekilas tanpa memerhatikan dengan lebih dalam substansi yang dikandungnya, seolah-olah tidak ada yang salah dengan pernyataan di atas. Namun bagi seorang muslim yang harus selalu mensyukuri nikmat Allah berupa waktu dan masa-masa miliknya, akan ia sadari betapa lebih berharganya waktu dari uang yang jika hilang dapat diusahakan untuk didapatkan kembali.

Waktu memiliki keutamaan dan kemuliaan yang sangat banyak. Manusia perlu waktu untuk menggapai cita-cita dan mewujudkan tujuannya. Setiap orang memiliki jatah waktu yang beragam. Ada yang Allah berikan umur hingga ia dapat melihat uban tumbuh di rambutnya. Beberapa orang lain Allah berikan batas waktu sebelum merasakan tulang dan sendinya melemah. Bahkan tidak sedikit juga beberapa insan yang Allah berikan batas umur hingga masa kanak-kanaknya. Tidak seperti uang, waktu yang terlewat tidak mungkin kembali.

Fakhruddin ar-Razi menyampaikan ketakjubannya pada waktu dalam tulisannya. Di dalam kitab tafsirnya, ia melukiskan betapa menakjubkan waktu dan masa. Baginya, waktu bukan hanya sekedar satuan temporal yang bisa dibagi menjadi detik, menit, jam, hari, bulan, hingga tahun. Waktu adalah masa terjadinya suka, duka, sehat, sakit, kaya, miskin. Semua hal itu pasti terjadi di satu dimensi ruang pada interval waktu tertentu. Dan setiap saatnya begitu penting dan utama. Ia mengilustrasikan dalam tafsirnya tersebut betapa berharganya waktu meskipun sedikit dengan mencoba mengimajinasikan seseorang yang selalu menyia-nyiakan waktu. Bayangkan orang tersebut menghambur-hamburkan masa yang ia miliki dengan senda gurau, candaan, maksiat, dosa-dosa dan hal-hal tidak bermanfaat lainnya. Ia hidup dalam kubangan kesia-siaan ini dalam waktu yang sangat lama. Kemudian, di akhir hayatnya, Allah menakdirkan hidayah bagi orang tersebut. Ia sadar akan kelalaiannya, sementara waktu yang ia miliki di dunia hanya sedikit lagi. Orang tersebut akhirnya hanya sempat menjadi hamba yang bersyukur sebentar saja, tidak sebanding dengan waktu yang ia habiskan untuk maksiat. Meskipun demikian, dengan waktu sesaat itu ia dapat memperoleh kenikmatan abadi di akhirat karena mengakhiri hayatnya dengan perilaku terpuji. Saat itulah ia akan mengetahui betapa berharganya waktu yang sedikit itu. (Fakhruddin Ar-Razi. 1460 H. Mafâtîhul-Ghaib. Beirut: Dâr Ihyâ’it-Turâts al-‘Arabi. Hal. 32: 277)

Dalam menggunakan waktu, seorang muslim akan bersikap bijak dan mengutamakan amal shalih yang bermanfaat bagi dirinya di dunia dan akhirat. Ia menyadari bahwa waktunya yang terbatas di dunia akan diganjar dengan waktu tak berujung di akhirat. Jika dioptimalkan untuk kebaikan, ia akan menuai panen buah-buahan di surga selamanya. Jika disia-siakan untuk kemaksiatan dan menyekutukan Allah, ia akan kekal abadi dalam api neraka. Tidak ada seorangpun yang bisa menebusnya dengan harta walaupun sepenuh bumi dengan dilipat gandakan. Ini menunjukkan waktu jauh lebih berharga dari uang.

Para ‘ulama telah memberikan teladan yang baik bagi kaum muslimin dalam masalah penggunaan waktu. Mereka fokus menghabiskan umur yang mereka miliki untuk ilmu dan ibadah. Maka tidak heran jika Imam asy-Syafi’i memperingatkan para pemuda untuk menghiasi kehidupan mereka dengan ilmu dan taqwa. Ia memberikan ancaman keras bagi yang tidak mau menggunakan waktunya untuk belajar dan menuntut ilmu dengan penyesalan di masa mendatang. Abu Ghuddah bahkan mengutip pernyataan Ibnul-Qayyim dalam “al-Jawâbul-Kâfi” mengenai pikiran-pikiran yang paling bermanfaat bagi seorang hamba dimana salah satunya adalah memikirkan kewajiban-kewajiban menata waktu. Baginya, segala maslahat akan tumbuh dari waktu yang tertib dan tertata. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya akan celaka. Ia menyebutkan bahwa orang yang bijaksana itu adalah anak waktu (ibnu waqtih). Maksudnya, orang tersebut pandai menggunakan waktu dengan baik. (‘Abdul-Fattah Abu Ghuddah, 1408 H, Qîmatuz-Zaman ‘Indal-‘Ulamâ’, Maktabatul-Mathbû’âtil-Islâmiyyah, hal. 25)

Dari masa yang lama ini, Allah menganugerahkan kaum muslimin waktu-waktu khusus yang memiliki berbagai keutamaan, kemuliaan, dan kelebihan berupa dilipat gandakannya amal, diturunkan malaikat, diijabah do’a, dan lain sebagainya. Selama satu hari kita beraktivitas, Allah syari’atkan lima waktu shalat yang dapat menjadi penghapus dosa antara shalat ke shalat. Dalam satu pekan, Allah syari’atkan ibadah jum’at yang dapat menjadi penghapus dosa antara jum’at ke jum’at. Bahkan pada satu tahun, Allah syari’atkan satu bulan istimewa yaitu Ramadhan yang dapat menjadi penghapus dosa antara Ramadhan ke Ramadhan. Selain itu, ada beberapa ibadah temporal yang memiliki banyak keutamaan. Di antaranya shaum hari ‘Arafah, Tasu’a, ‘Asyura, malam qadr, sepertiga malam terakhir, sepertiga terakhir bulan Ramadhan, dan lain-lain. Keutamaan ini jauh melampai nilai uang yang bahkan bisa berubah dalam sekejap di bursa efek. “Time is money” adalah premis yang salah besar karena “Time is more than money”. Yang diminta oleh orang-orang kafir setelah merasakan pahitnya maut adalah tambahan waktu bukan harta yang lebih.