Situaksan Bandung

Menata Amal Shalih dalam Skala Prioritas

Menata Amal Shalih dalam Skala Prioritas
Menata Amal Shalih dalam Skala Prioritas

Mengetahui tingkatan-tingkatan amal merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah memberikan penjelasan menarik tentang tingkatan strategi-strategi syaithan dalam menyesatkan manusia: Pertama, manusia akan diseru kepada jalan-jalan kekufuran, syirik, serta memusuhi Allah dan rasul-Nya; Kedua, manusia diajak kepada perbuatan-perbuatan bid’ah yang dibenci agama; Ketiga, manusia digoda dengan dosa-dosa besar; Keempat, manusia digoda dengan dosa-dosa kecil; Kelima, manusia dilalaikan dengan perkara-perkara mubah hingga waktu yang ia miliki terbuang; Keenam, manusia akan dikacaukan skala prioritas amalnya sehingga yang kurang utama didahulukan atas yang lebih utama. (Ibnul-Qayyim, at-Tafsîr al-Qayyim, Beirut: Dâr Maktabatil-Hilâl, hal. 575-577)

Seseorang sangat perlu untuk mengetahui urutan amal dari yang terbaik hingga amal yang lebih baik. Selain dapat menangkis strategi busuk syaithan, pengetahuan ini akan membantunya untuk mendapatkan kebaikan dari satu amal dengan sempurna di dunia dan akhirat. Di dunia, ia akan dapat mengoptimalkan waktu, menciptakan efektivitas kebaikan, dan memaksimalkan maslahat umum. Sementara di akhirat, ia akan mendapatkan kebaikan-kebaikan berupa pahala atas ilmu pengetahuannya akan prioritas amal dan pengamalannya atas ilmu tersebut.

Para sahabat di zaman Rasulullah saw hingga para ‘ulama di era kontemporer memberikan perhatian yang sangat serius pada masalah prioritas amal. Di masa kenabian, para sahabat menunjukkan semangat menuntut ilmu mereka. Setiap perkara yang ingin mereka ketahui akan ditanyakan kepada Rasulullah saw. Di antara masalah yang mereka sampaikan kepada Rasulullah saw adalah tentang keutamaan amal dan apa amal yang paling utama. Salah satu yang pernah menanyakan hal ini adalah sahabat Ibnu Mas’ud ra. Ia bertanya amal apa saja yang paling afdhal. Rasulullah saw pun menerangkan bahwa amal-amal tersebut adalah shalat pada waktunya, berbakti kepada kedua orang tua, dan jihad di jalan Allah. (H.R al-Bukhari dan Muslim)

Kemudian, para ‘ulama setelah masa para sahabat tidak luntur semangat mereka untuk mendalami masalah prioritas amal. Para ahli fiqih khususnya yang tidak bosan memenuhi karya-karya mereka dengan penjelasan amal-amal apa yang sebaiknya didahulukan dari yang lain. Pembagian amal berdasarkan klasifikasi hukum taklifi juga membantu memudahkan mereka menentukan amal-amal yang perlu diprioritaskan. Yang mubah tidak didahulukan dari yang sunnah, sunnah ghair mu’akkad tidak didahulukan dari sunnah mu’akkad, yang sunnah tidak didahulukan dari yang wajib, yang wajib mutlak tidak didahulukan dari yang mu’aqqat dan lain sebagainya.

Setelah itu, datang masa para ‘ulama selanjutnya. Ada satu prestasi dan capaian gemilang di bidang ilmu fiqih dan hukum. Salah seorang ‘ulama masyhur, Imam asy-Syathibi menutupi celah-celah dalam pembahasan tujuan dan hikmah syari’at yang telah lama menjadi kajian para ‘ulama. Dalam karyanya berjudul al-Muwâfaqât, beliau merumuskan secara sistematis tujuan-tujuan syari’at mulai dari yang sifatnya dharuri, hâji, dan tahsîni. Hal ini kemudian berpengaruh besar pada kajian fiqih prioritas dimana yang dharuri tidak didahulukan atas yang hâji. Begitupun tahsîni tidak didahulukan dari yang hâji. Kajian prioritas amal ini tidak berhenti. Pada masa modern, salah seorang ‘ulama kelahiran Mesir, Yusuf al-Qaradhawi menulis satu buku yang membahas permasalahan ini. Kitab ini ia namakan Fî Fiqhil-Awlâwiyyât, Dirâsah Jadîdah fî Dhau’il-Qur’ân was-Sunnah. Kajian yang sebelumnya ia namakan dengan Marâtibul-A’mâl ini disusunnya secara sistematis dan lebih mudah dipahami.

Ibrahim ar-Ruhaili memberikan penjelasan mengenai keutamaan satu amal atas amal lainnya. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan barometer untuk menentukan skala prioritas amal ini: Pertama, meninjau jenis amal dari segi afdhaliyyah dengan merujuk penjelasan al-Qur’an, hadits, bahkan perkataan ‘ulama seperti kisah Ibnu Mas’ud ra yang telah disampaikan tadi; Kedua, meninjau kategori hukum amal sehingga dapat didahulukan yang wajib atas yang sunnah; Ketiga, meninjau kekuatan ikhlas dan niat dalam amal; Keempat, meninjau keserasiannya dengan ittibâ’ kepada Rasul; Kelima, meninjau tingkat kerutinan dan amal yang kontinu; Keenam, memprioritaskan kesederhanaan ibadah yang sesuai dengan tuntunan syari’at; Ketujuh, meninjau aspek keutamaan subjek amal dan kdudukannya di sisi Allah; Kedelapan, meninjau keutamaan waktu direalisasikannya amal; Kesembilan, meninjau keutamaan tempat direalisasikannya amal; Kesepuluh, meninjau kondisi dan situasi yang menyertainya. (Ibrahim ar-Ruhaili, Tajrîdul-Ittibâ’ fi Bayân Asbâb Tafâdhulil-A’mâl, Dârul-Imâm Ahmad)

oleh: Darana Erawan Noer Hadiyana