Situaksan Bandung

Jihad Adalah Amalan Paling Utama—Basharidlo Thoriq Bintoro

Jihad Adalah Amalan Paling Utama—Basharidlo Thoriq Bintoro
Jihad Adalah Amalan Paling Utama—Basharidlo Thoriq Bintoro

Jihad Adalah Amalan Paling Utama

Basharidlo Thoriq Bintoro

Pendahuluan

Jihad merupakan amalan yang didambakan oleh setiap orang, karena ganjaran yang diberikan berupa surga di sisi-Nya kelak. Jihad pun merupakan amalan yang paling utama di sisi-Nya; karena dengan jihad seseorang mempertaruhkan harta dan nyawanya di jalan Allah Swt. Maka dari itu, jihad merupakan pembahasan yang paling utama dikarenakan amalan jihad ini harus menjadi cita-cita setiap muslim, agar kelak dapat meraih segala ganjaran sekaligus rida-Nya di akhirat.

Dalam pembahasan kali ini, penulis akan fokus terhadap hadits-hadits seputar jihad yang tercantum dalam kitab Riyadhus-Shalihin; tepatnya dua hadits yang ada dalam kitab tersebut no. 1309 dan 1310. Dua hadits ini menerangkan dua topik besar di dalam jihad yaitu, (1) perbedaan ganjaran pahala orang yang ikut berperang di jalan Allah dengan yang tidak, (2) hanya dengan amalan jihad seorang mu’allaf dijamin masuk surga.

Tulisan ini penulis dedikasikan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh al-Ustadz Oman Warman selaku pengajar Riyadhus-Shalihin, lalu tulisan ini pun bertujuan untuk meningkatkan ghirah masyarakat dalam menyikapi jihad di jalan Allah, maka mudah-mudahan melalui tulisan ini dapat tersampaikan berbagai pelajaran sekaligus dorongan untuk menjadi mujahid Islam.

Meski tulisan ini merupakan upaya maksimal penulis dalam menyampaikan dan mengeluarkan idenya terkait jihad, namun sebagaimana pepatah mengatakan “Tidak ada gading yang tak retak” maka dari itu, mohon maaf terhadap segala kekeliruan yang terjadi di dalam tulisan ini. Mudah-mudahan segala masukan dan saran senantiasa diberikan kepada penulis, sebagai bahan pertimbangan dan perbaikan. Untuk mencapai tulisan yang lebih baik lagi.

Sorotan Hadits

١٣٠٩  وعن أبي سَعيدٍ الخُدْرِيِّ ، رضي اللَّهُ عنهُ ، أنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم بَعثَ إلى بَني لِحيانَ ، فَقَالَ : « لِيَنْبَعِثْ مِنْ كُلِّ رجُلَيْنِ أحدَهُما ، والأَجْرُ بينَهُما » رواهُ مسلمٌ . وفي روايةٍ لهُ : « لِيخْرُجْ مِنْ كُلِّ رجلين رجُلٌ » ثُمَّ قال لِلقاعِدِ : « أَيُّكُمْ خَلَفَ الخارج في أَهْلِهِ ومالِهِ بخَيْرٍ كان لهُ مِثْلُ نِصْفِ أَجرِ الخارِجِ » .

١٣١٠ وعنِ البراءِ ، رضي اللَّه عَنْـهُ ، قال : أتى النبي صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، رجلٌ مقنَّعٌ بِالحدِيدِ ، فَقال : يا رَسُول اللَّهِ أُقَاتِلُ أوْ أُسْلِمُ ؟ فقَال : « أسْلِمْ ، ثُمَّ قاتِلْ » فَأسْلَم ، ثُمَّ قَاتَلَ فَقُتِلَ، فقَال رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « عمِل قَلِيلاً وَأُجِر كَثيراً » . متفقٌ عليهِ ، وهذا لفظُ البخاري .

Terjemah Hadits

1309. Dari Abu Said al-Khudri Ra bahwasanya Rasulullah Saw mengirimkan pasukan ke tempat Banu Lahyan, lalu bersabda: “Hendaklah dari setiap dua orang itu, salah seorang saja yang ikut dalam pasukan yang dikirimkan, sedang pahala adalah antara keduanya.” Ini jikalau yang tidak ikut itu memberikan kelengkapan seperlunya kepada yang hendak ikut berangkat. (Riwayat Muslim) Dalam riwayat Imam Muslim lainnya disebutkan: “Hendaklah dari setiap dua orang, seorang saja yang keluar.” Kemudian beliau (Rasulullah Saw) bersabda kepada orang yang duduk -yakni tertinggal-: “Mana saja orang di antara engkau semua yang berlaku sebagai pengganti dari orang yang ikut keluar berperang –fi sabilil-‘Llah– baik dalam urusan keluarga dan hartanya dengan baik-baik, maka bagi orang yang tidak mengikutinya tadi adalah pahala sebanyak separuh dari pahala orang yang ikut keluar berperang.”

1310. Dari al-Bara’ Ra, katanya: “Ada seorang lelaki dengan berselubung besi -di kepalanya dan bersenjata- datang kepada Nabi Saw, lalu berkata: “Ya Rasulullah, saya berperang atau masuk Islam dulu?” Beliau Saw bersabda: “Masuklah dalam Agama Islam dulu kemudian berperanglah!” Orang itu lalu masuk Islam kemudian berperang lalu terbunuh. Kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Orang itu beramal hanya sedikit, dan diberi pahala banyak.” (Muttafaq ‘alaih) Dan ini adalah lafazhnya Imam Bukhari.

Tautsiq Hadits

Hadits no. 1309 dikutip dari kitab Riyadhus-Shalihin karya al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syarf an-Nawawi ad-Dimasyq dalam Kitab al-Jihad Bab Fadl al-Jihad. Hadits ini bersumber dari riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya Kitab al-`Imarah Bab Fadl `i’anah al-Ghazi fi sabilil-‘Llah bi-markub wa ghairih wa khilafatihi fi ahlihi bi-khair no. 1896. Kemudian riwayat lainnya tersebut bersumber pula dari riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya pada kitab dan bab yang sama.

Lafazh pertama hadits ini, Imam Muslim menerimanya dari Zuhair bin Harb, lalu ia menerima dari Isma’il bin ‘Ulayyah, kemudian Isma’il menerima dari ‘Ali bin al-Mubarak, kemudian ‘Ali menerima dari Yahya bin Abu Katsir, setelah itu Yahya menerima hadits dari Abu Sa’id (Maula al-Mahriy), dan beliau menerimanya dari Abu Sa’id al-Khudri. Lalu pada lafazh yang kedua Imam Muslim menerima hadits dari Sa’id bin Manshur, lalu Sa’id menerima dari Abdullah bin Wahb, kemudian ia menerima dari ‘Amr bin al-Harits, setelah itu ‘Amr menerima hadits dari Yazid bin Abu Habib, lalu ia menerima dari Yazid bin Abu Sa’id (Maula al-Mahriy), ia menerima dari Bapaknya, dan Bapaknya menerima dari Abu Sa’id al-Khudri. Maka madar (common link) pada kedua lafazh ini ialah Yazid bin Abu Sa’id (Maula al-Mahriy).

Lalu hadits no. 1310 dikutip dari kitab Riyadhus-Shalihin pula, dalam kitab dan bab yang sama. Kemudian hadits ini bersumber dari dua Imam; al-Bukhari dan Muslim. Dalam kitab Shahih Bukhari tercantum pada Kitab al-Jihad wa as-Siyar Bab ‘Amal Shalih qabla al-Qital no. 2808. Serta dalam kitab Shahih Muslim pada Kitab al-`Imarah Bab Tsubut al-Jannah lisy-Syahid no. 1900.

Imam al-Bukhari menerima hadits tersebut melalui Muhammad bin Abdur-Rahim, lalu ia menerima dari Syababah bin Sawar al-Fazari, lalu Syababah menerima dari Isra`il, dari Abu Ishaq, lalu ia mendengar langsung dari al-Barra`. Kemudian pada riwayat yang diterima Imam Muslim; beliau menerimanya dari Abu bakar bin Abu Syaibah, lalu ia menerima dari Abu `Usamah, dari Zakaria, dari Abu Ishaq, dari al-Barra`. Pada sanad lainnya, Imam Muslim menerimanya dari Ahmad bin Janab al-Mishishiy, kemudian ia menerima dari ‘Isa (yaitu Ibn Yunus), dari Zakaria, dari Abu Ishaq, dari al-Barra`. Pada hadits ini, madar (common link) dari riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yaitu, Abu Ishaq.

Syarah Hadits

Kedua hadits ini, bertema inti mengenai Jihad. Maksud jihad dalam kedua hadits di atas yaitu, Jihad berperang melawan musuh. (al-Bustani, 2013) Para ‘Ulama tafsir menerangkan, bahwa amalan yang paling utama dan mulia itu adalah Jihad berperang melawan musuh, karena jihad ini mempertaruhkan dua hal yang berharga; harta dan jiwa. (al-Jazairi, tanpa tahun)

Selain mempertaruhkan dua hal yang berharga, setiap orang yang berjihad (berperang di jalan Allah) akan diganjar dengan pengampunan yang besar dari Allah Swt serta tempat terbaik di sisi-Nya yaitu, Surga (Jannah ‘Adn). Hal ini tercantum dalam Firman-Nya:

﴿یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ هَلۡ أَدُلُّكُمۡ عَلَىٰ تِجَـٰرَةࣲ تُنجِیكُم مِّنۡ عَذَابٍ أَلِیمࣲ (١٠) تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُجَـٰهِدُونَ فِی سَبِیلِ ٱللَّهِ بِأَمۡوَ ٰ⁠لِكُمۡ وَأَنفُسِكُمۡۚ ذَ ٰ⁠لِكُمۡ خَیۡرࣱ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ (١١) یَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡ وَیُدۡخِلۡكُمۡ جَنَّـٰتࣲ تَجۡرِی مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَـٰرُ وَمَسَـٰكِنَ طَیِّبَةࣰ فِی جَنَّـٰتِ عَدۡنࣲۚ ذَ ٰ⁠لِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِیمُ (١٢) وَأُخۡرَىٰ تُحِبُّونَهَاۖ نَصۡرࣱ مِّنَ ٱللَّهِ وَفَتۡحࣱ قَرِیبࣱۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ (١٣)﴾

{Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? [10] (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. [11] Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. [12] Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman. [13]} (Qs. Ash-Shaff [61]: 10-13)

Namun nyatanya, amalan jihad ini bukanlah amal yang mudah dikerjakan. Karena amalan ini membutuhkan pemurnian hati agar berorientasi meraih rida Allah Swt. Karena tidak sedikit orang yang mengatakan “ingin berjihad di jalan Allah” tapi nyatanya perkataannya itu tidak sampai ke hati; dia beribadah masih bolong-bolong, akhlaknya masih jauh dari nilai-nilai kebaikan, dsb. Itulah mengapa, Allah Swt menyinggung di dalam al-Qur`an bahwa ada orang yang ia mengaku beriman, taat, rajin dalam beribadah. Tapi padahal Allah Swt langsung yang mengatakan bahwa orang tersebut belum beriman, melainkan baru berislam. Hal ini menjadi ukuran bahwa Iman atau amalan itu landasan utamanya niatnya, sejauh mana niat itu bergantung hanya untuk meraih rida Allah Swt.

﴿۞قَالَتِ ٱلۡأَعۡرَابُ ءَامَنَّاۖ قُل لَّم تُؤۡمِنُواْ وَلَٰكِن قُولُوٓاْ أَسۡلَمۡنَا وَلَمَّا يَدۡخُلِ ٱلۡإِيمَٰنُ فِي قُلُوبِكُمۡۖ وَإِن تُطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَا يَلِتۡكُم مِّنۡ أَعۡمَٰلِكُمۡ شَيۡ‍ًٔاۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ﴾

Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs. Al-Hujurat [49]: 14)

Meskipun jihad merupakan amalan yang paling utama dalam ajaran Islam, namun amalan ini bukanlah amalan yang hukumnya fardlu ‘ain (wajib bagi setiap individu), melainkan fardlu kifayah (wajib bagi sebagian orang/cukup diwakilkan), hal ini sesuai dengan hadits yang tercantum di atas no. 1309. Jadi amalan jihad ini merupakan amalan yang wajib tapi hanya bagi orang tertentu saja. Walaupun hukumnya fardlu kifayah, tidak menutup kemungkinan diharuskan bagi tiap orang agar bercita-cita untuk berjihad di jalan Allah, karena jihad merupakan amalan paling tinggi ketimbang amalan lainnya. Maka dianjurkan untuk setiap orang agar memiliki cita-cita mulia tersebut.

Hal ini terbukti, melalui peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw terhadap seorang non-Islam yang bertanya kepada beliau (tatkala ingin ikut berperang pada perang Uhud) “haruskah aku perang dahulu, lalu masuk Islam atau masuk Islam terlebih dahulu kemudian berperang?” beliau langsung menjawab “Masuk Islam lah terlebih dahulu, lalu berperanglah!”. Lalu singkat cerita ia masuk Islam kemudian langsung berperang dan terbunuh, sontak Nabi Saw menyatakan “Pemuda tersebut beramal sedikit, namun diberi ganjaran yang melimpah”. Seorang mu’allaf syahid tersebut bernama, Ushairim bin Abdul-Asyhal (diubah namanya oleh Nabi Saw menjadi Zur’ah). (al-‘Ammar, 2009)

Maka dari itu, melalui peristiwa yang tercantum dalam hadits no. 1310 tersebut terkandung berbagai pelajaran penting yang dapat menjadi pegangan bagi kaum muslimin, di antaranya:

Pertama, Islam merupakan syarat diterimanya amal. Hadits ini menjadi dalil; amalan yang dijelaskan di dalam Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw harus dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam, di samping hal itu amalan tersebut harus dilaksanakan ketika seseorang sudah memeluk agama Islam. Maka, ketika seseorang melakukan amalan lalu ia tidak beragama Islam, jelaslah amalan tersebut tertolak. Tidak akan pernah diganjar, apalagi diterima di sisi Allah Swt. Hal ini pun dikuatkan dengan Firman-Nya:

﴿وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ﴾

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Qs. Ali ‘Imran [3]: 85)

Kedua, Sedikit amal disertai niat yang shalih. Amalan itu sekecil apapun pasti setiap yang beramal akan merasakan ganjarannya. Mau itu baik amalnya, atau buruk. Karena hal ini sudah Allah Swt tegaskan di dalam Firman-Nya:

﴿ فَمَنْ يَعْمَلْ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرًا يَرَهُۥ (٧) وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ (٨)﴾

{Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. [7] Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.} (Qs. Al-Zalzalah [99]: 7-8)

Oleh karena itu, mau sebesar dan sekecil apapun amalan; pasti setiap orang akan merasakannya. Maka ketika seseorang melakukan amal yang sedikit (seperti yang dilakukan Ushairim) pasti dia akan merasakannya, apalagi ketika didasari dengan niat yang shalih. Sebagaimana yang dinyatakan Ibnul-Qayyim, bahwa niat itu merupakan ruh, jantung, sekaligus badannya amal. Maka dari itu, melalui hadits kisah Ushairim ini Rasulullah menyatakan, “Pemuda tersebut beramal sedikit, namun diganjar dengan pahala yang melimpah” ini adalah bukti kemuliaan niat, bahwa sekecil apapun amalan selama niatnya murni, mulia, dan shalih (Lil-‘Llahi Ta’ala) pasti akan diganjar dengan pahala yang melimpah.

Simpulan

Maka demikian, di antara keistimewaan amalan Jihad, bahwa bukti Jihad merupakan amalan yang paling utama adalah karena dengan berjihad, seseorang mempertaruhkan dua hal yang berharga; jiwa dan harta. Lalu, dianjurkan untuk setiap orang bercita-cita untuk bisa berjihad di jalan Allah (berperang) demi meraih syahid kelak, sekaligus mendapat rida Allah Swt

Wal-‘Llahu A’lam

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur`an al-Karim
  2. Abu ‘Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari. (tt), Shahih al-Bukhari. Diakses melalui aplikasi at-Turats.
  3. Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi. (tt), Shahih Muslim. Diakses melalui aplikasi at-Turats.
  4. Abdul Hadi bin Sa’id al-Bustani dan Ziyad bin Muhammad Muhammad. (2013), Rauh wa Rayahin. Riyadh: Mu’assasah ar-Risalah al-‘Alamiyyah.
  5. Abu Bakar al-Jazairi. (tt), Aysarut-Tafasir. Diakses dari aplikasi al-Bahits al-Qur`aniy
  6. Hamad bin Nashir bin Abdurrahman al-‘Ammar. (2009), Kunuz Riyadhis-Shalihin. Riyadh: Dar Kunuz Isybiliya.