Pendidikan merupakan program utama dalam kehidupan masyarakat. Sebuah masyarakat akan tetap hidup jika pendidikan di masyarakat tersebut hidup. Sebaliknya jika pendidikan tidak hidup maka masyarakat pun akan binasa. Al-Qur`an menyebutkan dengan jelas bahwa para Nabi ‘alaihimus-salam diutus oleh Allah swt untuk menjalankan misi pendidikan. Ketika banyak dari para umat Nabi tersebut yang kemudian tidak mengikuti program pendidikan para Nabi, maka Allah swt pun membinasakan mereka.[1]
Dalam perjalanannya pendidikan tidak hanya dijalankan oleh Nabi dan umatnya, melainkan juga oleh orang-orang yang menentang ajaran para Nabi. Ilmu pendidikan hari ini selalu menyebut pendidikan Yunani Kuno sebagai salah satu contohnya dan bahkan menjadikannya sebagai rujukan utamanya. Pendidikan pada era Yunani Kuno ditujukan untuk memanusiakan manusia dengan tiga kriteria utama: (1) Memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri, (2) cinta tanah air, dan (3) berpengetahuan.[2] Perbedaannya dengan pendidikan para Nabi jelas terlihat dalam hal ketiadaan ajaran utamanya yakni tauhid, padahal semua para Nabi menjalankan misi utama pendidikan tauhid.[3]
Dalam perkembangan berikutnya, misi pendidikan bisa dibedakan pada dua arus utama, yaitu:
Pertama, berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Dengan kata lain, peserta didik harus mengikuti kemauan penguasa dan sistem yang berlaku di masyarakat.
Kedua, lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar. Terdapat dua model dari pendidikan yang berorientasi individu ini: (1) peserta didik diarahkan untuk meraih kebahagiaan duniawi dalam bentuk kemapanan sosial-ekonomi dan (2) peserta didik diarahkan untuk meningkatkan intelektual, kekayaan dan keseimbangan jiwanya sesuai dengan keunikan masing-masing.[4]
Secara umum sistem pendidikan yang diterapkan di Negara-negara yang ada di dunia ini berorientasi kemasyarakatan. Pandangan ini dianut oleh aliran Perenial atau aliran Transmisi Kebudayaan yang sering dihubung-hubungkan dengan Plato, beberapa sarjana modern, seperti William T. Harris, Roberts Hutchins, dan Adler di Amerika Serikat, serta aliran Rekonstruksi Sosial Modern yang biasanya dikaitkan dengan George S. Count di Amerika, Paulo Freire di Brasil, dan Jurgen Habermas di Jerman, dan para feminis yang giat meneriakkan prinsip-prinsip kebebasan, meskipun yang terakhir ini memiliki beberapa perbedaan dalam segi-segi tertentu. Sebaliknya, hampir semua agama besar di atas permukaan bumi ini menganut pandangan yang berorientasi kepada individu. Dari kalangan sekuler-modern ada juga seperti Jean-Jacques Rousseau, Abraham Maslow, dan A.S. Neill.[5]
Pendidikan Islam sendiri sudah tentu berorientasi pada pengembangan individu, tetapi bukan untuk meraih kebahagiaan duniawi dalam bentuk kemapanan sosial-ekonomi, melainkan meningkatkan intelektual, kekayaan, dan keseimbangan jiwa sesuai dengan keunikan masing-masing. Ini berarti bahwa pendidikan Islam harus dibedakan orientasinya dengan pendidikan secara umum yang berkiblat ke Barat dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan negara. Pendidikan Islam bukan bertujuan untuk menciptakan robot-robot yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat materialistis, melainkan bertujuan untuk menciptakan manusia yang berkualitas sebagaimana harusnya berdasarkan bimbingan para Nabi ‘alaihimus-salam.
Sebagai organisasi yang berkhidmat di dunia pendidikan, Persatuan Islam dari sejak lahirnya sudah mencanangkan satu tujuan pendidikan yang lebih spesifik daripada pendidikan Islam secara umum. Ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Persatuan Islam itu sendiri adalah organisasi yang dibentuk untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih khusus dan sering diabaikan oleh masyarakat umum tetapi merupakan misi utama para Nabi, khususnya Nabi Muhammad r. Pendidikan Persatuan Islam ditujukan untuk menciptakan tha`ifah mutafaqqihin fid-din; sebuah kelompok spesialis yang memperdalam ilmu agama.[6]
Persatuan Islam tentunya tidak menampik tujuan pendidikan Islam secara umum yang ditandakan pada visi pendidikan yang telah ditetapkannya yaitu “terwujudnya manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi”.[7] Demikian juga tampak pada misi pendidikan yang telah ditetapkannya yaitu “pemanusiaan insan ulul albab selaku muslim yang kaffah dan tafaqquh fid-din”.[8] Akan tetapi visi dan misi pendidikan yang umum tersebut dalam implementasinya diarahkan juga untuk mencapai tujuan yang lebih khusus—di samping yang umum—yakni “mewujudkan kepribadian muslim yang taqwa dan tafaqquh fid-din”.[9]
Tafaqquh sebagaimana dijelaskan oleh ar-Raghib al-Ashfahani bermakna takhashshush; mengkhususkan diri, spesialisasi:
تَفَقَّهَ: إِذَا طَلَبَهُ فَتَخَصَّصَ بِهِ
Tafaqqaha: Mencarinya dan mengkhususkan diri padanya.[10]
Tafaqquh fid-din berarti mengkhususkan diri mencari ilmu agama, menjadikan diri spesialis dalam ilmu-ilmu agama. Istilah ini diambil dari firman Allah swt dalam al-Qur`an:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.[11]
Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat di atas erat kaitannya dengan dua ayat sebelumnya dalam surat at-Taubah yang memerintahkan semua kaum muslimin untuk pergi ke medan perang.[12] Maka dengan ayat di atas Allah swt hendak menegaskan bahwa kewajiban berangkat ke medan perang itu ketika perangnya fardlu ‘ain dimana Nabi saw sendiri yang memimpin perang dan memerintahkan semua lelaki yang wajib berperang untuk ikut berperang. Akan tetapi ketika perangnya sebatas fardlu kifayah; cukup diwakili oleh sekelompok pasukan, maka tidak boleh semuanya berangkat ke medan perang, melainkan harus ada juga sekelompok (tha`ifah) yang tetap tafaqquh fid-din. Al-Hafizh Ibn Katsir menyatakan:
تَكُوْنُ الطَّائِفَةُ النَّافِرَةُ مِنَ الْحَيِّ إِمَّا لِلتَّفَقُّهِ وَإِمَّا لِلْجِهَادِ؛ فَإِنَّهُ فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى اْلأَحْيَاءِ
Kelompok yang diutus untuk berangkat dari satu daerah itu jadi ada yang untuk tafaqquh dan ada yang untuk jihad. Sebab itu fardlu kifayah bagi setiap daerah.[13]
Itu artinya Allah swt menekankan wajibnya secara kifayah ada sekelompok orang yang tetap memperdalam ilmu agama. Tugas mereka, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, untuk mengingatkan kelompok yang berjihad di jalan Allah swt dan tidak mungkin sempat untuk tafaqquh. Hal inilah yang diambil oleh Persatuan Islam sebagai tujuan pendidikannya, yakni bahwa Persatuan Islam hendak memposisikan pendidikan yang dijalankannya untuk melahirkan kelompok yang spesialis dalam ilmu-ilmu agama.
Ilmu-ilmu agama atau al-‘ulûmus-syar’iyyah itu sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Ismail Raji al-Faruqi, mencakup ilmu bahasa, ilmu al-Qur`an, ilmu hadits, dan ilmu syari’at. Al-Faruqi menjelaskan bahwa ilmu bahasa merupakan kunci menuju data wahyu, teks maupun makna. Ilmu al-Qur`an berkisar pada teks firman Allah—verba, tata bahasa, sintaks, dan leksikologinya. Ilmu ini juga berkisar pada teks sejarah kontemporer sebagai konteks situasional wahyu, dan makna tersurat dan/atau tersirat teks. Sementara ilmu hadits berkenaan dengan sunnah Nabi Muhammad saw sebagai penjelas, teladan, dan perwujudan makna al-Qur`an. Ilmu hadits juga membahas persoalan menentukan keakuratan hadits dan teksnya. Dan ilmu syari’at berupaya menentukan perintah-perintah Islam dan menerjemahkannya ke dalam perundang-undangan. Ilmu syari’at menentukan institusi maupun metodologi untuk pelaksanaan syari’at.[14] Ilmu-ilmu ini merupakan ilmu yang fardlu ‘ain untuk dikuasai oleh setiap muslim sesuai dengan kadar kemampuan mereka. Baik itu orang kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, pengusaha atau buruh. Sebab dengan ilmu-ilmu inilah Islam bisa dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Orientasi pendidikan yang diarahkan pada tafaqquh fid-din ini sangat penting untuk tetap dipertahankan mengingat hari ini, sebagaimana sering dikemukakan oleh para pakar pendidikan Islam, problem utama umat Islam adalah problem ilmu pengetahuan. Keterpurukan dalam berbagai bidang yang dialami umat dewasa ini akar masalahnya adalah karena ketiadaan ilmu (ignorance) atau kerusakan ilmu itu sendiri (confusion).[15] Kehidupan umat dalam bidang budaya, politik, ekonomi, bahkan ilmu pengetahuan itu sendiri, jauh dari ideal karena ketiadaan ilmu harus seperti apa budaya, politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan dibangun dan dikembangkan. Ilmu-ilmu yang ada seputar budaya, politik, ekonomi dan sains yang ada hari ini sudah rusak oleh sekularisasi yang menceraikan wahyu dari wilayah ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu yang semula dianggap akan menjadi solusi problematika kehidupan malah telah menjadi rusak dan merusak kehidupan itu sendiri.
Di lembaga pendidikan umum terjadi ignorance (kebodohan) terhadap ilmu agama. Banyak sekali sarjana-sarjana dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu yang tidak bisa membaca al-Qur`an atau memahami ajaran-ajaran pokok agamanya. Padahal ilmu-ilmu agama adalah ilmu yang wajib dimiliki (fardlu ‘ain) oleh setiap muslim. Demikian juga, semakin bertambah ilmu semestinya semakin bertambah pula keimanan seseorang akan Rabbnya. Akan tetapi yang banyak terjadi, semakin pintar seseorang dalam ilmu pengetahuan alam, misalnya, tidak semakin menambah keyakinannya akan Rabbnya. Pemisahan nilai-nilai ketuhanan dari setiap ilmu yang dipelajari telah menyebabkan anak didik sekuler dari nilai-nilai agamanya.
Sementara itu, di lembaga pendidikan Islam terjadi confusion (kekacauan) dalam ilmu-ilmu agama. Gejalanya, sudah menyebar apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif sebagai “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan menilai (critical power) serta mengakibatkan kegagalan akal (intellectual failure), yang pada gilirannya menggerogoti keyakinan dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan kekufuran.[16] Maka tidak heran jika kemudian di sekolah-sekolah ditanamkan apa yang disebut dengan pendidikan multikulturalisme. Misi utamanya menanamkan keyakinan bahwa Islam bukan satu-satunya agama yang benar.[17]
Perguruan Tinggi Islam yang seharusnya mengembangkan keilmuan berbasis Islam, nyatanya tidak sesuai dengan harapan. Fakultas ushuluddin (dasar-dasar agama) malah mengembangkan keilmuan yang mendekonstruksi agama itu sendiri. Fakultas syari’ah tidak berperan signifikan dalam pengembangan syari’at Islam yang berbasis ilmu di negeri ini. Fakultas dakwah masih kalah jauh dengan lembaga-lembaga dakwah kultural dalam mengembangkan dakwah Islam. Akar masalahnya terletak pada metodologi studi Islam yang diajarkannya. Metodologi studi Islam saat ini secara terang-terangan diarahkan pada perspektif Barat yang menilai studi Islam harus saintifik dan positivistik.[18] Akibatnya studi Islam yang berbasis pada ‘ulûmul-Qur`ân, ‘ulûmul-hadîts, dan ushûlul-fiqh tidak dipandang sebagai studi Islam yang ilmiah. Maka dari itu, studi Islam melahirkan pemahaman Islam yang inklusif, pluralis, dan tidak menyetujui adanya truth claim untuk agama Islam. Lahir juga pemahaman relativisme dalam Islam, sehingga semua aliran dalam Islam dipandang sebagai aliran yang benar, tidak ada yang sesat.[19]
Solusi untuk mengatasi problem kelimuan sebagaimana diuraikan di atas adalah dengan islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi yang dimaksud, sebagaimana dikemukakan Syed M. Naquib al-Attas, melibatkan dua agenda kerja besar: (1) Pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat dari setiap cabang ilmu pengetahuan kontemporer, khususnya ilmu-ilmu humaniora. Meskipun demikian, ilmu-ilmu alam atau fisika dan ilmu-ilmu terapan harus juga diislamkan, khususnya dalam lingkup “interpretasi” fakta dan “formulasi” teori. (2) Pemasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan kontemporer yang relevan.[20]
Selain itu juga diberlakukan desekularisasi terhadap ilmu-ilmu agama. Ushul fiqh, ‘ulumul-Qur`an, ‘ulumul-hadits, dan ilmu-ilmu syari’at lainnya harus dimurnikan kembali sebagaimana aslinya dan dikembalikan ke khazanah turats yang bersih dari western worldview.[21]
Untuk mencapai tujuan tersebut mutlak memerlukan kader-kader yang menguasai ilmu-ilmu agama, baik itu mereka yang juga menguasai ilmu-ilmu non agama seperti matematika, sains, sosial, dan humaniora untuk islamisasi sains kontemporer, ataukah mereka yang spesialis murni dalam ilmu-ilmu agama yang dikenal hari ini dengan istilah ulama untuk desekularisasi ilmu-ilmu agama. Untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan yang berorientasi pada tafaqquh fid-din menjadi salah satu model pendidikan yang diandalkan. Maka dari itu model pendidikan seperti ini harus dipertahankan dan bahkan harus terus ditingkatkan kualitasnya.
Akan tetapi sampai hari ini cenderung sudah menjadi kesepakatan bahwa pendidikan di Persatuan Islam sebenarnya sudah kurang fokus pada tafaqquh fid-din. Ini setidaknya terlihat dari Rekomendasi Muktamar Persatuan Islam dari sejak tahun 1995 dan terus menerus diulang-ulang sampai Muktamar 2015 yang mengamanahkan Persatuan Islam untuk membentuk satu lembaga pendidikan khusus yang lebih fokus pada tafaqquh fid-din. Sebabnya lembaga pendidikan pesantren—sebagai satu-satunya yang diandalkan dalam tafaqquh fid-din—itu sendiri hari ini sudah hampir semuanya mengikuti kurikulum dari Kementerian Agama RI. Spesialisasi pada tafaqquh fid-din pun sulit untuk diwujudkan mengingat kurikulum pendidikan Kementerian Agama RI memang tidak mengarah ke sana.
Atas pertimbangan bahwa pendidikan Islam harus mempunyai orientasi yang jelas dalam pembinaan individu tanpa terbawa arus besar tuntutan pasar; demikian juga atas pertimbangan bahwa pendidikan Persatuan Islam harus mampu memperlihatkan jati dirinya yang berorientasi pada tafaqquh fid-din, maka Pesantren Persatuan Islam 27 Situaksan Bandung berikhtiar menyelenggarakan program pendidikan khusus tafaqquh fid-din untuk tingkat Tsanawiyyah dan Mu’allimin. Pendidikan khusus yang dimaksud adalah pendidikan yang menerapkan kurikulum khusus tafaqquh fid-din dan fokus pada al-‘ulumus-syar’iyyah. Kurikulum yang akan digunakan sama sekali tidak mengacu pada kurikulum pendidikan Kementerian Agama RI, melainkan hanya merujuk pada kurikulum pendidikan Persatuan Islam dengan memberi porsi yang besar pada al-‘ulumus-syar’iyyah dan bahasa Arab. Adapun al-‘ulumul-insaniyyah dan al-kauniyyah diberikan dalam format ekstra-kurikuler. Pendidikan khusus ini juga diutamakan pada tercapainya kompetensi hafal al-Qur`an 30 juz; hafal hadits Bulughul-Maram bab ibadah, mu’amalah, dan munakahah; dan hafal hadits Riyadlus-Shalihin bab adab dan fadla`il. Maka dari itu jenjang pendidikan yang dipilih adalah jenjang pendidikan dasar akhir dan menengah, yakni Tsanawiyyah dan Mu’allimin selama enam tahun.
PROGRAM
Pendidikan khusus tafaqquh fid-din.
VISI
Pendidikan untuk mewujudkan tha`ifah mutafaqqihin fid-din; sekelompok orang yang mengkhususkan diri memperdalam ilmu agama.
MISI
TUJUAN
Terwujudnya tha`ifah mutafaqqihin fid-din di tengah-tengah umat.
[1] QS. ar-Rum [30] : 47
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008, hlm. 33.
[3] QS. an-Nahl [16] : 36 dan al-Anbiya` [21] : 25.
[4] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Kuala Lumpur: ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), 1998, hlm. 121-123.
[5] Ibid.
[6] Pedoman Sistem Pendidikan Persatuan Islam bab IV pasal 8.
[7] Ibid bab II pasal 2.
[8] Ibid bab II pasal 3.
[9] Ibid bab VII bagian kesatu Pendidikan Anak Usia Dini pasal 14 ayat 1; bagian kedua Pendidikan Dasar pasal 18 ayat 1; bagian ketiga Pendidikan Menengah pasal 19 ayat 1; dan bagian keempat Pendidikan Tinggi pasal 20 ayat 1.c.
[10] Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur`an, Beriut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 398.
[11] QS. At-Taubah [9] : 122
[12] QS. At-Taubah [9] : 41 dan 120.
[13] QS. At-Taubah [9] : 122
[14] Isma’il Raji Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, terj. Ilyas Hasan, Atlas Budaya Islam, Bandung: Mizan, 2003, Cet. IV, hlm. 263.
[15] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, hlm. 70-71.
[16] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm. 140.
[17] Zakiyuddin Baidhawi, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta: Erlangga, 2005.
[18] Fuad Jabali dan Jamhari(ed.), IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, hlm. 19.
[19] Nashruddin Syarief, Pemikiran H. M. Rasjidi tentang Metodologi Studi Islam di Perguruan Tinggi, Disertasi Universitas Ibn Khaldun Bogor, 2013, hlm. 191-194
[20] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, hlm. 371-422.
[21] Nashruddin Syarief, Pemikiran H. M. Rasjidi tentang Metodologi Studi Islam di Perguruan Tinggi, Disertasi Universitas Ibn Khaldun Bogor, 2013, hlm. 234-235.
[22] Dari kuota 25 kursi tersebut, 5 kursi disediakan untuk santri dari keluarga besar Persis Babakan Ciparay yang tidak memenuhi standar kompetensi minimal sebagai bentuk pertanggungjawaban kaderisasi putra daerah.
[23] Untuk tahun pertama atau selama asrama belum selesai dibangun, asrama putra akan ditempatkan di pondok masjid at-Taubah dan Nurul Huda (jarak ke Pesantren + 100 m & 200 m) dengan kapasitas 10 orang. Sementara asrama putri akan ditempatkan di pondok masjid al-Furqon yang bersebelahan dengan Pesantren dan berkapasitas 4 orang.