Situaksan Bandung

Membantah Klaim Ahistoris Dakwah Islam Disebarkan Menggunakan Pedang

Oleh: Darana Erawan Noer Hadiyana

Islamophobia atau ketakutan terhadap hal-hal bernuansa Islami merupakan salah satu fenomena yang sangat unik di tengah masyarakat Barat. Agama Islam yang dalam ajarannya sendiri mengajarkan kasih sayang dan akhlak mulia dipersepsikan sebagai kaum yang kejam haus darah dan suka meneror. Nama terorispun disematkan kepada komunitas muslim dengan tidak adil karena banyak faktor. Dari sekian banyak alasan, sejarah menjadi salah satu kunci untuk menjawab mengapa muncul klaim ahistoris demikian. Sejarah dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa gambaran negatif demikian ditujukan kepada umat Islam seiring perjalanan dan perkembangan zaman.

 

         Di kalangan sejarawan Barat, ada satu narasi yang selalu diulang-ulang dan digaungkan dalam penulisan sejarah. Yaitu bahwa penyebaran Islam di seluruh dunia adalah hasil dari pemaksaan keyakinan dari komunitas muslim kepada masyarakat dunia. Sederhananya, menurut mereka Islam disebarkan menggunakan pedang. Daerah-daerah taklukan dihantui kilatan pedang para mujahid yang terhunus. Namun, sejauh manakah kebenaran klaim ini?

         Persepsi bahwa Islam disebarkan ini dapat kita telusuri salah satunya dalam karya Edward Gibbon (1906: 9/7). Seorang sejarawan kelahiran Inggris yang hidup di abad ke-18. Orang yang juga sempat menduduki posisi penting di parlemen Inggris untuk wilayah Lymington dan Liskeard ini dalam salah satu bukunya berjudul “The History of Decline and Fall of Roman Empire” menuliskan sosok Muhammad yang menyebarkan Islam dengan pedang di satu tangan dan al-Qur’ān di satu tangan yang lain. Ia menjelaskan, “While the state was exhausted by the Persian war, and the church was distracted by the Nestorian and Monophysite sects, Mahomet, with the sword in one hand and the Koran in the other, erected his throne on the ruins of Christianity and of Rome. The genius of the Arabian prophet, the manners of his nation, and the spirit of his religion involve the causes of the decline and fall of the Eastern empire.” (Ketika negara sedang kelelahan setelah perang melawan Persia, sementara gereja terganggu dengan kaum Nestorian dan sekte-sekte Monofisit, Muhammad dengan pedang di satu tangannya dan al-Qur’ān di satu tangan yang lain membangun tahtanya untuk menghancurkan Kekristenan dan Romawi. Nabi Arab yang jenius, kebiasaan negaranya, dan semangat agamanya ini berpengaruh terhadap kemunduran dan kejatuhan kekaisaran-kekaisaran Timur)

         Imajinasi masyarakat Barat bahwa Islam menakutkan memang sudah sangat sering digaungkan semenjak abad pertengahan. Faktanya, perang salib meletus karena deskripsi berlebihan dari Paus Urbanus II kala menyampaikan khotbahnya di Clermont bahwa kaum muslimin, “Telah mengubah perjamuan-perjamuan korban yang suci, merampas gereja, dan membakarnya. Mereka membawa sebagian tawanan ke negara-negara mereka untuk dijadikan budak, dan sebagian yang lain dibunuh setelah menyiksa mereka dengan keji. Mereka juga menginjak-injak tempat-tempat suci dengan kaki-kaki najis mereka.” (Ash-Shallābī, 2019: 790-791) Bukan hanya itu, Adian Husaini (2021: 168-169) mengutip beberapa penjelasan dari salah seorang ahli sejarah di Georgetown University bernama Jo Ann Hoeppner Moran Cruz dalam tulisannya yang berjudul “Popular Attitudes towards Islam in Medieval Europe” bahwa ditemukan banyak keterangan menarik sekaligus menggelitik tentang legenda-legenda yang diyakini masyarakat zaman pertengahan mengenai kaum muslimin.

         Sebenarnya, sentimen ahistoris ini sudah banyak dibantah bahkan dari kalangan sejarawan Barat sendiri. De Lacy O’Leary (1923: 8) misalnya yang merupakan seorang sejarawan asal Inggris. Ia mengemukakan bahwa mitos paling aneh yang selalu digembor-gemborkan oleh beberapa oknum sejarawan adalah narasi bahwa Islam disebarkan melalui pedang. Dalam bukunya yang berjudul “Islam at The Cross Roads”, ia menuliskan poin tersebut sebagai berikut, “The legend of fanatical Muslims sweeping through the world and forcing Islam at the point of the sword upon conquered races is one of the most fantastically absurd myths that historians have ever repeated.” (Legenda bahwa orang-orang Islam fanatik yang menyapu dunia dan memaksakan Islam dengan pedang atas bangsa-bangsa yang ditaklukkan adalah mitos absurd yang secara fantastis paling diulang-ulang oleh sejarawan) Kita juga menemukan nama sejarawan seperti Thomas Walker Arnold (1913: 10-16) yang menegaskan bahwa sejak awal doktrinnya, Islam mengecam pemaksaan agama. Ia mengutip banyak sekali ayat al-Qur’ān mengenai masalah ini.

         Yūsuf Al-Qaradhāwi (2014: 1/499-500) mengajak kita untuk membantah tuduhan tersebut dengan melihat pandangan Islam yang orisinil mengenai pemaksaan keyakinan sekaligus fakta sejarah penyebaran Islam. Jika memerhatikan ajaran Islam, dapat ditemukan banyak ayat yang menegaskan bahwa memaksakan keyakinan dengan paksaan dalam bentuk apapun adalah langkah yang salah dan tidak tepat. “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah [2]: 256) Bahkan dalam ayat yang lain, sikap memaksa orang lain untuk mengimani keyakinan yang sama dipertanyakan sebagai bentuk pengingkaran. “Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang di bumi seluruhnya beriman. Apakah engkau (Nabi Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang mukmin?” (Q.S Yūnus [10]: 99) Fakta sejarah juga membantah klaim ini. Negara-negara Asia Tenggara menyaksikan masuknya Islam lewat perantara para pedagang Hadramaut yang menunjukkan akhlak terpuji dan kebaikan hati. Tanpa satu prajuritpun bahkan tidak ada seorangpun dai yang memiliki misi khusus. Hal yang sama juga ditemukan di beberapa wilayah Afrika dan sebagian besar wilayah Pakistan dan Bangladesh. Berdasarkan dua hal ini (ajaran murni syariat dan fakta sejarah), dapat dipastikan lemahnya klaim Islam disebarkan melalui pedang.

         Selain membantah mitos ini dengan fakta mengenai konsep dakwah dalam ajaran Islam dan sejarah kaum muslimin yang sebenarnya, Al-Qaradhāwi juga melancarkan kritik kepada sejarawan dari kalangan orientalis karena menjadikan al-futūhāt al-Islāmiyyah atau pembebasan-pembebasan wilayah oleh kaum muslimin sebagai landasan argumen mereka untuk menunjukkan bahwa Islam disebarkan melalui kekerasan dan paksaan sehingga orang-orang di wilayah tersebut memeluk Islam dalam keadaan takut dan hina. Beliau menjelaskan bahwa pedang mungkin saja dapat membuka wilayah negeri-negeri. Akan tetapi ia tidak memiliki kuasa atas hati manusia. Ia menjelaskan, “Sesungguhnya pedang mungkin dapat membuka wilayah, mengambilalih negeri-negeri, tapi ia tidak mungkin mampu untuk membuka hati. Karena membuka hati sekaligus menyingkirkan penutup-penutupnya membutuhkan pekerjaan lain. Ia perlu memuaskan akal, menghilangkan syubhat, menjawab pertanyaan-pertanyaannya, menggunakan simpati, dan menghadirkan kesan dalam jiwa manusia.”

         Al-Qur’ān bahkan telah menggariskan cara-cara dakwah Islam yang tepat dalam firmanNya, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.” (Q.S An-Nahl [16]: 125)Tiga metode yang disinggung oleh al-Qur’ān ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi mereka yang didakwahi. Karena setiap objek penyampaian pesan dalam beberapa posisi seringkali memiliki keadaan beragam yang menuntut cara-cara yang beragam pula. Berdasarkan metode-metode ini, tipologi objek dakwah yang disampaikan pesan dapat dibagi menjadi tiga kelompok berikut:1) Golongan cendekiawan, mereka adalah orang-orang yang memiliki kecintaan pada pengetahuan dan kecenderungan untuk menggunakan nalar kritis. Jika sasaran dakwah adalah kelompok-kelompok seperti mereka, maka metode yang digunakan adalah menggunakan al-hikmah, atau dialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan kadar wawasan dan pengetahuan mereka; 2) Golongan awam, mereka adalah orang-orang yang tidak ambil pusing dengan hal-hal filosofis yang tinggi. Nalar kritis mereka tidak setajam kelompok cendekiawan. Untuk mencermati rangkaian argumen dan susunan logika, mereka akan menemukan banyak sekali kesulitan dibandingkan dengan kelompok cendekiawan. Metode dakwah yang tepat untuk mereka adalah al-mau’izhah al-hasanah atau pengajaran yang baik. Maksudnya adalah memahamkan dan mendidik dengan penyampaian pesan yang mudah dicerna; 3) Golongan yang tingkat kecerdasannya berada antara kaum cendekiawan dan awam, atau disebut juga sebagai golongan pertengahan. Mereka dapat didakwahi secara dialog, debat, diskusi atau mujadalah. (Abdullah, 2019: 140)

         Demikianlah metode-metode dakwah yang digariskan oleh Islam. Semuanya mengutamakan ajakan damai dan penyampaian pesan yang komunikatif. Tidak ada satupun anjuran untuk melakukan kekerasan dalam menyebarkan risalah dakwah. Ini menunjukkan bahwa dalam konsep teoretisnya sendiri, dakwah bukanlah tentang menghunuskan pedang dan memaksa keyakinan orang lain. Bahkan dalam menggunakan metode berdebat, al-Qur’ān mewasiatkan agar adu argumen yang dilakukan harus dengan cara-cara yang baik. Inilah manhaj dakwah yang diajarkan oleh Islam kepada para dainya. Maka dengan sendirinya, klaim bahwa Islam disebarkan akan runtuh. Terlebih, fakta sejarah menunjukkan betapa banyak wilayah mayoritas muslim pada hari ini tidak pernah mengalami bentrok ataupun konflik apapun dengan komunitas muslim di awal kedatangan mereka.

Wal-Llāhu a’lam bish-Shawāb…

———————————————————————-

Referensi-Referensi:

Abdullah. 2019. Ilmu Dakwah: Kajian Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Aplikasi Dakwah. Depok: Rajawali Press.

Al-Qaradhāwi, Yūsuf. 1425 H/2014 M. Fiqh al-Jihād Dirāsah Muqāranah li Ahkāmih wa Falsafatih fī Dhau’ al-Qur’ān wa as-Sunnah. Kairo: Maktabah Wahbah. Vol. 1.

Arnold, Thomas Walker. 1913. The Preaching of Islam, A History of Propagation of The Muslim Faith. London: Constable & Company Ltd.

Ash-Shallābī, ‘Ali Muhammad. 2019. Bangkit dan Runtuhnya Daulah Bani Saljuk. terj. Masturi Irham dan Malik Supar. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Husaini, Adian. 1442 H/2021 M. Wajah Peradaban Barat, Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler Liberal. Depok: Gema Insani.

Gibbon, Edward. 1906. The History of the Decline and Fall of the Roman Empire. ed. J.B. Bury with an Introduction by W.E.H. Lecky. New York: Fred de Fau and Co.

O’Leary, De Leary. 1923. Islam at The Cross Roads, A Brief Survey of The Present Position and Problems of The World of Islam. New York: E. P. Dutton & Co.